RESENSI BUKU SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
Nama Pengarang : Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag
Judul Buku : Sejarah pendidikan Islam
Bab yang dibahas : XXI BAB
Tahun Terbit : 2007
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal Buku : XXX + 360 Halaman; 23 Halaman
Penerbit : KENCANA PERDANA MEDIA GROUP
Buku yang dieditori oleh Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag merupakan kumpulan tulisan tentang sejarah pendidikan Islam dari beberapa penulis dengan menyelusuri jejak sejarah pendidikan era Rosulullahbsampai Indonesia. Dalam kata pengantar editor Prof. Dr. H. Nizar menerangkan quo vadis pendidikan Islam di Indnesia, menyelusuri sejarah menuju paradigma pendidikan berkualitas. Dalam pembahasan ini, diterangkan kondisi pendidikan nasional yang serba dengan kekurangan daneror direfleksikan kepada sejarah pendidikan Islam untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional ke arah yang lebih maju.
Pada BAB I ditulis tentang Profil Rosulullah sebagai Pendidik ideal: telaah pola pendidikan Islam era Rosulullah fase Makkah dan Madinah yang ditulis oleh Zainal Efendi Hasibuan menerangkan tentang kondisi politik, sosiokultural pra Islam sampai fase awal Islam dan bagaimana pendidikan pada zaman Rosulullah mulai dari lembaga pendidikannya, materi dan kurikulum serta metode pengajaran dan evaluasi era Rosulullah. Rosulullah sebagai pendidik yang ideal dapat dilihat dari indikator walaupun dengan sarana dan prasarana yang terbatas dapat menelurkan para intelektual yang berkualitas. Yang dahulunya bangsa arab masih terkukung dalam kegelapan dan kejahiliahan melesat ke arah peradaban yang tinggi. Dan metode yang diterapka rosulullah sangat berfariasi sehingga dapat menghilangkan kejenuhan. Dan yang paling utama Rosulullah mendidik para sahabat dengan menjadikan dirinya sebagai suri tauladan. Adapun kurikulum yang dipakai Rosulullah adalah kurikulum berbasis masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari pembagian pengajaran era makkah dan era madinah.
Pada BAB II ditulis tentang pola pendidikan Islam pada periode Rosulullah mekkah dan madinah ditulis oleh Kamaruzzaman. Disana diterangkan tentang kondisi sosial kultural makah dan madinah pada era Rosulullah dan pola yang dilakukan Rosulullah dalam mengajarkan tauhid kepada para sahabatnya. Kurikulum yang digunakan yaitu berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist.
BAB III tentang pola pendidikan Islam pada masa Khulafaurrosyidin ditulis oleh Mhd. Dalpen. Disini diterangkan tentang keadaan dan sistem pendidikan di zaman Khulafaurrosyidin. Pada zaman Abu bakar, sistem pendidikannya tidah jauh berbeda dari pendidikan pada masa Rosulullah. Pada masa Umar pendidikan sudah lebih meningkat dimana para guru sudah diangkat dan digaji yang diambil dari baitul mall untuk mengajar ke daerah-daerah yang baru ditaklukan. Pada masa Usman. Pendidikan diserahkan pada rakyat dan sahabat yang tidak hanya fokus di mMadinah melainkan dikirim ke daerah-daerah lainnya. Pada masa Ali, pendidikan kurang mendapat perhatian dikarenakan terjadi pergolakan dan konflik yang menimbulkan kekacauan.
BAB IV pola pendidikan Islam pada periode dinasti Umayyah yang ditulis oleh Silvianti Candra. Dieterangkan tentang pembentukan dinasti, kemajuan yang dicapai oleh dinasti umayyah dan pola pendidikan dan pusat pendidikannya. Pada masa ini berkembang ilmu-ilmu agama islam dan adanya pembukuan hadist pada zaman Umar Bin Abdul Aziz.
BAB V pola pendidikan Islam pada periode dinasti abasiyah yang ditulis oleh Ali Nupiah. Disini dibahas tentang sejarah berdirinya daulah Abasiyah, sistem politik, pemerintahan dan bentuk negara serta sistem sosialnya. Pada zaman ini Islam mencapai punak kejayaan yang dapat dilihat indikatornya yaitu majunya ilmu-ilmu sains dan tekhnologi. Dan puncak kejayaan tersebut terjadi pada masa Harun Arrosyid.
BAB VI Pola pendidikan Islam di Spanyol era awal tinjauan historis filosofis ditulis oleh Samsul Nizar. Dalam tulisan ini dibahas tentang sejarah awal Islam Spanyol, perkemabngan Pendidikan dan kebudayaan Spanyol Islam beserta faktor penunjangnya, dan bias pendidikan spanyol Islam bagi perkembangan dunia modern. Disini Spanyol diterangkan baha spanyol merupakan pintu atau temapat penghubung antara dunia Islam dan Eropa. Dari sinilah proses pencerahan Eropa terbentuk.
Dan pada bab-bab yang selanjutnya diterangkan sejarah pendidikan islam dari pendidikan Islam di andalusia oleh Yusmanto, lembaga-lembaga pendidikan Islam era awal oleh Mira Astuti, kurikulum dan pola perkembangan ilmu pengetahuan pada masa klasik hingga masa keemasan oleh Sondal Pramujaya, transformasi dan kontribusi intelektual Isla atas dunia barat oleh Farida Syam, madrasah Hizamiyah; pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan islam dan aktivitas ortodoksi suni oleh Edi Warman, pendidikan Islam pada era kemunduran oleh Mulyadi Hermanto Nasution, kehancuran dinasti Abasiyah dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan pendidikan di dunia Islam oleh Roli Yandri, sejarah dan perkembangan arsitektur Islam dinasti Usmaniyah oleh Samsul Nizar, dinamika sejarah pendidikan perempuan potert timur tengah dan indonesia era awal oleh Wahyu hikmah, dikotomi ilmu pengetahuan: akar tumbuhnya dikotomi ilmu dalam peradaban Islam oleh Yudelasharmi, Muhammad Abduh dan usaha pembaruan pendidikan Islam di Mesir oleh Yasmansyah, gagasan islamisasi ilmu pengetahuan dan implikasinya dalam pendidikan oleh Ahmad Syarifin, sejarahdan dinamika lemaga-lembaga pendidikan islam nusantara oleh Abasri, pola kebijakan pendidikan Islam di Nusantara pada masa awal samapai sebelum kemerdekaan oleh Maswardi, organisasi sosial keagamaan dan pendidikan Islam oleh Muhammad Syaifudin, dan yang terahir pola dan kebijakan pendidikan Islam pada masa awal kemerdekaan sampai pada orde lama oleh Zulhandra.
Kesimpulan
Melihat dari isi buku ini, disana diterangkan secara mendalam tentang sejarah pendidikan Islam dari era Rosulullah hingga Islam di Indonesia pada masa orde lama. Dengan bahasa penulisan yang apik dan runtut penulis mengajak pembacanya untuk berdiskusi dan akan kita dapatkan analisis atau riset yang jaranng ditemukan.
Dikarenakan buku ini merupakan kumpulan dari makalah-makalah, pembahasan yang disampaikan kurang rutut dan sistematis, sehingga agak menyulitkan para pembaca untuk mengikuti alurnya, dan didalamnya terkadang ada dua pembahasan yang setema disampaikan.
RESENSI BUKU SEJARAH PENDIDIKAN
MENGHIDUPKAN BUDAYA BACA
Judul : Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban
Peresensi : Ali Rif’an
Penulis : Suherman, M.Si.
Penerbit : MQS Publishing
Sampai hari ini, minat baca orang Indonesia masih terbilang rendah.
Data dari United Nations Development Programme (UNDP), misalnya,
menyebutkan dalam hal minat baca, Indonesia menempati peringkat 96,
sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Bahkan untuk kawasan Asia
Tenggara, hanya ada dua negara di bawah peringkat Indonesia, yakni
Kamboja dan Laos.
Apa sebenarnya penyebab rendahnya minat baca di Indonesia? Suherman
melalui buku ini, secara spesifik, menyebutkan dua faktor. Pertama,
faktor determinisme genetic, yakni warisan orangtua. Seseorang tidak
suka membaca karena memang sejak kecil dibesarkan oleh orangtua yang
tidak pernah mendekatkan dirinya pada bacaan.
Kedua, determinisme lingkungan. Orang tidak senang membaca karena
lingkungan, teman-teman, rekan kerja, guru, atau dosen tidak senang
membaca; di samping itu juga di rumah, di kantor, di sekolah tidak
disediakan perpustakaan; serta tidak ada peraturan perusahaan/instansi
yang mengharuskan seseorang untuk membaca.
Sosialisasi
Namun demikian, selain dua faktor di atas, Suherman menduga bahwa
rendahnya minat baca di Indonesia juga dipengaruhi oleh keadaan ekonomi
masyarakatnya yang masih lemah, kurangnya perhatian pemerintah, harga
buku masih terlampau mahal, dan minimnya sosialisasi akan pentingnya
membaca. Bahwa membaca adalah pintu gerbang masuknya segala informasi
dan ilmu pengetahuan merupakan hal yang penting untuk diketahui bagi
segenap anak bangsa. Syarat untuk menjadi orang besar atau pahlawan
ialah berfikir besar dan memiliki cita-cita tinggi. Sedangkan syarat
fundamental untuk menggapainya adalah mengumpulkan ilmu
sebanyak-banyaknya, yang instrument utamanya adalah membaca.
Membaca menjadi titik kisar tumbuh-kembangnya suatu peradaban. Dalam
Islam, misalnya, membaca justru perintah pertama dan utama sebelum
diperintahkan yang lainnya. Islam pernah menjadi sokoguru peradaban
dunia yang menguasahi lebih dari separuh jagat ini. Jika ditelusuri,
peletak dasar ilmu-ilmu yang ada sekarang adalah lahir dari
tangan-tangan para ulama yang memiliki kegilaan dalam membaca.
Dalam konteks keindonesiaan, tragedi kemiskinan dan kemelut
pendidikan yang sedang terjadi sekarang ini salah satunya akibat dari
tidak adanya kesadaran dan rendahnya minat baca. Kemajuan suatu bangsa
dan peradaban sangat berkelindan dengan kegetolan masyarakatnya
menyelami dunia literasi. Sebab, di negara maju semisal AS dan Jepang,
setiap individu-individu memiliki waktu baca khusus dalam sehari.
Rata-rata kebiasaan di negara maju memiliki waktu baca delapan jam dalam
sehari, sementara di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua
jam setiap harinya (hlm 128).
Barangkali mereka sadar bahwa membaca merupakan aktivitas vital yang
harus diselami jika ingin sukses di dunia ini. Jika pangan, sandang, dan
papan adalah kebutuhan primer manusia secara fisik (badan), maka buku
dan bahan bacaan lainya adalah kebutuhan primer manusia secara
non-fisik, rohani (otak).
Dengan alasan itulah, buku selayaknya kita jadikan sebagai menu
harian yang hampir sebanding dengan pangan, sandang, dan papan. Kita
harus sadar bahwa buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah
diam, sastra bungkam, sains lumpuh, dan pemikiran macet. Buku adalah
mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudera
waktu.
Buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. Pendidikan tanpa
membaca bagaikan raga tanpa ruh. Fenomena “pengangguran intelektual”
tidak akan terjadi apabila siswa dan mahasiswa memiliki semangat membaca
yang membara. Tradisi literasi telah menjadi nafas kehidupan para ulama
terdahulu dan bagi mereka yang telah sukses meraih mimpinya. Kita bisa
tengok tokoh-tokoh dunia semisal Karl Marx, Imam Khomeini, Mahatma
Ghandhi, Hasan al-Banna, Mohammad Hatta, Tan Malaka, dan seterusnya.
Mereka adalah tokoh dunia yang sukses lantaran memiliki gegirangan
membaca.
Perubahan Paradigma
Karena itu, jalan menuju perubahan budaya baca bisa dilakukan dengan
cara merubah paradigma. Dengan kata lain, membaca selayaknya dijadikan
kebutuhan jika ingin bertahan hidup dalam persaingan global yang semakin
kompetitif. Sebab, menggeliatnya persoalan kebangsaan yang melanda
negeri ini, pada dasarnya tidak lepas dari minimnya pembacaan fenomena
yang terjadi pada realitas sosial. Runtuhnya suatu peradaban juga tidak
semata disebabkan oleh masalah politik dan kekuasaan. Yang paling utama
adalah hilangnya élan vital dalam membaca.
Alex Inkeles, profesor sosiologi emeritus pada Hoover Institute,
Universitas Stanford (hlm 133), pernah mengatakan bahwa ciri-ciri
manusia modern dan maju itu dapat dilihat dari dua sudut, yakni
eksternal dan internal. Sudut eksternal berkaitan dengan lingkungan, dan
mudah dikenali. Seperti urbanisasi, komunikasi massa, industrialisasi,
kehidupan politik dan pendidikan, dan seterusnya. Sementara sudut
internal justru tidak tampak. Seperti pola pikir, perasaan kita, visi
kita, dan seterusnya. Kedua sudut ini pun harus menjadi setali dua mata
uang yang saling berkelindan, berkaitan.
Namun yang jamak kita saksikan, sekalipun lingkungannya sudah modern,
tidak dengan sendirinya kita menjadi modern. Padahal, kita baru bisa
dikatakan modern kalau dapat merubah perilaku dan pola pikir kita.
Ciri-ciri manusia modern adalah jika ia mau membuka diri terhadap
pengalaman baru, inovasi dan perubahan. Maka, jendela dunia akan
terbuka. Itu semua bisa terjadi pada awalnya lewat bacaan.
Untuk itu, budaya visual yang lebih dominant di negeri harus
digantikan dengan tradisi literasi. Budaya baca harus ditumbuhkan. Untuk
membangkitkan dan membangun minat baca tidak hanya harus dilandaskan
pada lingkungan atau kondisi, tetapi juga dapat didasarkan pada pilihan
yang sadar. Membaca bukanlah kewajiban yang datang dari luar dan harus
dilakukan dengan terpaksa, melainkan sebuah kebutuhan yang timbul dari
dalam diri dan tentu saja akan dilakukan dengan senang hati.
Buku besutan alumnus Jurusan Ilmu Perpustakaan Universitas
Padjadjaran sekaligus pendiri dan ketua Masyarakat Literasi Indonesia
ini menarik untuk disimak. Meski hanya 154 halaman, tapi hampir di tiap
lembarnya menghadirkan letupan “gizi” bagi pembaca. Sebagai penutup.
Seorang teman pernah berkelakar ketika selesai membaca buku ini, “Buku
ini ibarat oase di padang gersang. Di tengah-tengah akutnya buta aksara
di Indonesia, buku ini layak sekali untuk dibaca!”
link : http://resensibuku.com/?p=985